A.
Sejarah
Masyarakat adat
Kajang
AmmaToa merupakan salah satu suku tertua yang sangat terkenal di
Sulawesi selatan. Budaya dan kehidupan sosial masyarakatnya yang unik menjadi
daya tarik bagi para wisatawan mancanegara yang membanjiri daerah ini setiap
tahunya. Kajang terbagi menjadi dua wilayah, kajang dalam dan kajang luar.
Wilayah kajang luar merupakan wilayah yang menerima modernisasi, sedangkan
wilayah kajang dalam merupakan
wilayah adat yang
mempertahankan tradisi dan menolak modernisasi.
Gaya hidup yang
bersandar pada petuah dan ajaran-ajaran leluhur sebagai pandangan hidup masih
dipegang teguh sampai sekarang . Berpakaian hitam-hitam dilengkapi penutup
kepala yang juga berwarna hitam atau biasa disebut pasappu dalam bahasa
setempat, dan sarung berwarna hitam atau disebut Tope lelleng Komunitas adat
yang bisa di jumpai di kabupaten Bulukumba sekitar 190 km dari Makassar ibu
kota
Sulawesi Selatan ini di
pimpin oleh seorang tetua terpilih dengan sebutan AmmaToa yang dibantu oleh 26
pemangku adat atau disebut Galla (mentri) yang memiliki tugas masing-masing.
Saat ini Kajang
di pimpin oleh AmmaToa yang ke 22 yang bertanggung jawab penuh menjaga adat dan
tradisi bisa berjalan selaras dengan alam. Selain itu AmmaToa juga bertindak
sebagai pemimpin spiritualis tertinggi. Kami pun sempat berbincang dengan
pemimpin yang murah senyum dan berwibawah ini, beliau menjelaskan tentang
bagaimana menyelesaikan perselisihan dan semua hal aspek kehidupan melalui
musyawarah di rumah besar. Tentu saja menggunakan bahasa Konjo melalui
perantara Galla (Mentri) yang memang bertugas menyambut dan menemani tamu.
B.
Pakaian Adat
Pakaian serba hitam
menjadi ciri khas suku ini,
bahkan mitos yang berkembang di masyarakat sering mengidentikkan suku kajang
dengan kekuatan ilmu supranaturalnya.
C.
Kekayaan Alam
Suku Kajang memiliki nilai kearifan
budaya yang diaplikasikan dalam pengelolaan kawasan hutan. Suku kajang membagi
ke dalam tiga (3) bagian untuk pengelolaan dan pemanfaatan hutan. Pembagian
kawasan ini dikenal dengan sebutan Borong
Karamaka (hutan keramat) yaitu kawasan hutan yang terlarang untuk semua
jenis kegiatan, terkecuali kegiatan atau acara-acara ritual.
Borong
Batasayya (Hutan Perbatasan) merupakan hutan
yang diperbolehkan diambil kayunya sepanjang persediaan kayu masih ada dan
dengan seizin dari Ammatoa selaku
pemimpin adat. Borong Luara (Hutan
Rakyat) merupakan hutan yang bisa dikelola oleh masyarakat. Apabila mengacu
pada peraturan kementerian pertanian mengenai klasifikasi pemanfaatan hutan,
akan ditemukan konsep yang sama dengan kearifan lingkungan yang telah
dijalankan suku Kajang selama bertahun-tahun.
D. Nilai-Nilai Tradisi Pada Rumah Tinggal Masyarakat Ammatoa Kajang
Satu falsafah hidup yang sangat
sederhana namun memiliki nilai pemeliharaan lingkungan adalah pemilihan tipe
bangunan. Masyarakat Suku Kajang memilih tinggal dalam rumah panggung dibanding
harus membangun rumah dari batu bata.
Menurut masyarakat suku Kajang,
walaupun penghuni rumah yang tinggal di rumah (terbuat dari batu bata) masih
hidup, mereka menganggap penghuni rumah tersebut sudah meninggal karena sudah
dikelilingi tanah. Membangun rumah dari batu bata dianggap sebuah pantangan
karena untuk membangunnya harus menggunakan kayu bakar.
Batu bata yang digunakan bahan
bakunya adalah tanah setelah itu dicetak kemudian dibakar. Tahapan menghasilkan
batu bata inilah yang dianggap merusak hutan. Padahal mereka sangat ketat
melindungi hutan adatnya, sehingga bangunan dari batu bata menjadi pantangan
bagi mereka. Jika ditinjau dari dari aspek lingkungan, kita akan temui
kebenaran (rasionalitas) kepercayaan masyarakat suku Kajang dalam melestarikan
hutan adat.
1. Membangun rumah dari batu bata
membutuhkan tanah liat, untuk menyediakan bahan baku tanah diperoleh dengan
melakukan pengerukan tanah.
2. Pembakaran batu bata membutuhkan
banyak kayu bakar, yang bersumber dari hutan.
3. Menghasilkan polusi udara, akibat pembakaran batu bata
4. Limbah bangunan batu bata tidak banyak yang bisa digunakan,
berbeda dengan kayu yang masih bisa didaur ulang.
Dlihat dari struktur dan konstruksi
rumah tradisional Ammatoa Kajang dibedakan atas Bola Hanggang dan Bola Paleha.
Bola Hanggang adalah rumah yang tiangnya ditanam kedalam tanah 100 cm dan tidak
mempunyai pattoddo (balok yang menghubungkan tiang-tiang pada arah lebar
bangunan bagian bawah lantai). Sementara balok yang menghubungkan deretan tiang
pada arah lebar yang terletak pada bagian atas di bawah lantai para (padongko),
disalah satu sisinya tidak boleh melewati tiang (rata dengan tiang tempatnya
bertumpu) yakni pada sisi kanan rumah, sisi dimana terletak dapur. Sedangkan
Bola Paleha adalah merupakan rumah yang tiangnya tidak ditanam tetapi berdiri
diatas umpak (Kajang: Pallangga Bola) dan deretan tiang dihubungkan oleh
patoddo sebagaimana konstruksi rumah tradisional Bugis-Makassar.
Letak rumah tradisional di luar
kawasan adat sekalipun masih dipengaruhi sistim kekerabatan dimana anggota
keluarga yang sudah berkeluarga dan merasa mampu untuk mandiri cenderung menetap disekitar rumah
keluarga inti, aturan-aturan yang mengikat mengenai tata letak seperti
mempertimbangkan hubungan kekerabatan antara orang tua dan anak atau antara
saudara (kakak dan adik)/antara yang muda dan tua tidak lagi menjadi hal yang
harus dipertimbangkan. Hal ini diakibatkan karena kondisi alam/lingkungan
mereka tinggal dan tergantung dari letak/tersedianya lahan kosong yang mereka
miliki.
E.
Sejarah dan Prasejarah
Masyarakat suku Kajang juga memiliki
ajaran Pasang, ajaran ini merupakan ajaran tata aturan yang mengatur jaringan
dan hubungan Suku Kajang yang muncul sebagai implementasi dari doktrin-doktrin
dan ajaran yang dikandungnya. Salah satu ajaran Pasang yang memberi pesan bahwa
sejarah masa lalu tidak jauh berbeda dengan sejarah sekarang dapat dilihat
sebagai berikut : Cobami ringkuanaki
hojainjo ripangkuaya sajarana ri olo kipasittei konjo, kituju konjo,
kipasittappai konjo nipahangiya, ri bicara rioloa, anre kulle nasisalantu.
Punna sisala, rie’ runnambaintu mange, niyaka nangurangi. Kanre anre nakulle ni
tambai pasangnga, nasaba’ iya nakua bicarayya Lontara ri Gowa, Pasang ri
Kajang, Kitta ri Luhu. Mingka punna rie’ tunnambai rie’to’ tau doraka. Iyaka
narie’ tau ngurangi ampasisala konjo ri pangkuayanjo tallua passala ri kuayya
Lontara ri Gowa, Pasang ri Kajang, Kitta’ ri Luhu appasiainjo sinna, arennaji
batuanna hata’bage, naiyya pada tujuanna, se’re tujuan.
Yang memiliki
arti sebagai berikut : “Cobalah anda mencari tentang apa yang dikatakan dalam
sejarah masa lampau. Anda cocokkan dan selidiki tentang apa yang dikatakan
dalam sejarah masa lampau tersebut, dengan keadaan sekarang. Apa yang dikatakan
sejarah masa lampau dengan keadaan masa kini, tidak berbeda. Kalau ada
perbedaan, pasti ada yang menambahinya. Orang yang menambah atau mengurangi
dari informasi masa lampau itulah orang yang durhaka. Dalam hal yang berkaitan
dengan Pasang ri Kajang ditetapkan bahwa tidak dapat ditambah sebagaimana yang
tertulis pada Lontara di Gowa, Pasang ri Kajang, dan kitab di Luwu. Tetapi jika
ada yang menambah, itulah orang durhaka, sebab ia telah membedakan yang telah
dikatakan dalam Lontara di Gowa, Kitab di Luwu dan Pasang ri Kajang. Yang
membedakan antara ketiganya hanyalah namanya, sementara tujuannya hanya satu.”
F.
Agama dan Kepercayaan
Menurut
data statistik di Kantor kecamatan Kajang, masyarakat Ammatoa seluruhnya
beragama Islam. Meskipun Islam diakui masyarakat Ammatoa sebagai agama
satu-satunya dalam kawasan adat, akan tetapi dalam kehidupan bergama mereka
masih mencampurbaurkan dengan ajaran-ajaran leluhur (kepercayaan) yang masih
mereka pegang teguh.
Patuntung adalah nama kepercayaan
yang dianut oleh Komunitas Ammatoa Kajang. Kata Patuntung dialek Konjo, berasal
dari kata “Tuntung” yang mendapat awalan Pa sama dengan awalan “Pe” dalam
bahasa Indonesia yang berarti “Penuntut” atau “Pelajar”. Jadi Patuntung
maksudnya seorang yang sedang mempelajari “Panggisengang” (ilmu pengetahuan)
yang bersumber dari “Pasang ri Kajang” yang mengandung pesan-pesan,
petuah-petuah, pedoman atau petunjuk yang ditaati, dan dituruti serta diamalkan
demi kebahagian akhirat. Amma-Toa adalah pemimpin dari kepercayaan patuntung di
Kajang, (“Amma” berarti bapak, dan “Toa berarti
yang dituakan). Kepadanya diadukan suka duka, didengar dan dipatuhi
karena mempunyai kelebihan-kelebihan dibanding manusia biasa, tetapi walaupun
demikian Amma-Toa tidak dipandang sebagai dewa yang harus dipuji dan disembah,
karena pada hakekatnya Komunitas Ammatoa Kajang percaya pada Sang Pencipta yang
meraka sebut Turie A’ra’na disingkat “TRA”.
Padanya manusia memohon dan a’pisona
(pasrah/tawakkal) Turie A‟ra‟na yang menentukan. Bentuk isyarat/lambang
tuntutan Tuhan ada di dalam “pasang”. Kepercayaan ini pada intinya bertolak
dari keyakinan tentang keberadaan manusia dibumi/kajang yang hanya semata-mata
untuk mempersiapkan diri menuju kebahagian akhirat, tempat para leluhur mendapat
kemuliaannya, dan menanti turunan mereka yang “shaleh” (Hermina, 1985).
Sehingga berdasarkan hal tersebut kepentingan- kepentingan keduniaan menjadi
sesuatu yang tidak penting atau menentukan.
G.
Sistem Kekerabatan
Pada Komunitas Ammatoa Kajang (KAK)
hubungan kekerabatan ini tampak jelas pada pengaturan ruang dan tatanan massa
rumah mereka (Wiwik, 2000). Untuk keseluruhan tatanan massa pada permukiman
Komunitas Ammatoa (Kajang Dalam), pada dasarnya bermakna: „yang muda
berkewajiban melindungi yang tua‟. Dalam hal ini yang dimaksud dengan yang muda
bisa saja anak/menantu, keponakan, ataupun adik. Bila dalam silsilah mempunyai
kedudukan yang sama, maka yang diambil sebagai patokan adalah usia, yang muda
berdasarkan usia adalah yang telah dewasa dan berumah tangga. Selama ia belum
berumah tangga, maka keselamatannya masih dalam tanggungjawab orangtuanya.
H.
Pelapisan Sosial
Bagi Komunitas Ammatoa Kajang (KAK),
sekalipun dikenal adanya pelapisan sosial, tetapi dalam kehidupan sehari-hari,
secara fisik tidak terlihat adanya tanda-tanda pelapisan sosial misalnya dalam
hal desain dan dimensi rumah, semua relatif seragam. Hal ini sangat berbeda dengan sistem kerajaan
yang selalu memberi fasilitas “lebih” kepada kelompok masyarakat yang berada
pada lapisan atas. Sebagaimana contoh terlihat pada masyarakat bugis, keluarga
raja/bangsawan rumahnya minimal bertiang 21 buah sedangkan pada lapisan
masyarakat umum maksimal setiap rumah hanya diizinkan bertiang 16 buah
(Izarwisman, 1985).
Sistem pelapisan sosial bagi KAK sangat
ditentukan oleh tingkat “kesholehan” yang bersangkutan yang telah menguasai
penuntun (Kajang: Patuntung) yakni berupa pesan-pesan leluhur (Kajang: Pasang
ri Kajang) yang berintikan pada prinsip “Kamase- masea” (kebarsahajaan), baik
dalam pemahaman substansi maupun dalam wujud kehidupan sehari-hari, termasuk
dalam pembentukan rumah, sehingga rumah bagi mereka adalah yang sederhana saja,
(Kajang: Balla situju-tuju) dan dalam bentuk yang seragam, guna menghindari
adanya perasaan lebih atau kurang diantara warga Komunitas Ammatoa Kajang. Bagi
Komunitas Ammatoa Kajang rumah bukanlah merupakan “kebutuhan” karena yang
menjadi kebutuhan mereka justru bagaimana menjalankan hidup sebaik-baiknya
sehingga selamat di akhirat, (Usop dalam Aminah: 1978). Hal ini nampak berbeda
dengan teori Moslow yang menempatkan rumah sebagai kebutuhan yang paling
mendasar. Lebih lanjut Usop (1978) mengemukakan bahwa merubah rumah adalah
sesuatu yang dipantangkan (Kajang: Kasipali) sebagaimana halnya menebang pohon,
berpakaian warna-warni dan lain-lain.
I.
Interaksi sosial
Menurut Soekanto (1990) interaksi
sosial merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis menyangkut hubungan
antara orang perorang, antara kelompok-kelompok manusia, dan antara orang
perorangan dengan kelompok manusia
Hubungan antara individu komunitas
ammatoa dengan individu komunitas ammatoa lainnya di dalam kawasan adat sangat
baik, baik secara kuantitas maupun secara kualitas.
Hubungan kekeluargaan diantara
sesama warga masih sangat kuat utamanya yang berada di dalam kawasan adat
ammatoa, sehingga antara satu dengan lainnya saling kenal dalam satu kawasan
adat. Masyarakat masih mengetahui nama depan dan nama panggilan masing-masing,
pekerjaan masing-masing, dan jumlah keluarga (anak dan pengikut). Dengan keadaan
ini maka interaksi sosial sangat sering dan berlanjut antara individu satu
dengan lainnya serta keluarga satu dengan lainnya. Kolong rumah berperan besar
dalam menjalin hubungan sosial antara tetangga (keluarga majemuk) dan sesama
keluarga inti.
J.
Gaya Hidup
Gaya hidup dapat didefenisikan
sebagai cara hidup yang diikuti oleh kelompok tertentu, melibatkan peran sosial
mereka dan karakterisitik yang tercermin dalam tingkah laku yang terkait dengan
perannya di tempat tersebut
Gaya hidup komunitas ammatoa adalah
sederhana (kamase-masea) sebagaimana aturan-aturan yang terdapat dalam Pasang
ri Kajang, yang menjadi persepsi, kognisi dan attiitudes mereka. Sehingga
tingkah laku mereka pada akhirnya adalah tingkah yang sesuai dengan ajaran
Pasang ri Kajang, yang mendasari gaya hidup komunitas ammatoa Kajang.
Mereka menganggap tidak perlu hidup
berlebihan karena hidup berlebihan akan menimbulkan konflik-konflik diantara
masyarakat yang pada akhirnya menghasilkan ketidakharmonisan dalam masyarakat
tersebut. Gaya hidup sederhana ini tercermin mulai dari cara berpakaian, cara
berkomunikasi, cara menyambut tamu dan sampai pada bentuk dan tatanan
ruang/hunian mereka.
K.
Kesimpulan
Setiap suku pasti memiliki cirri khasnya
masing-masing. Suku kajang merupakan suku yang paing tertua di Sulawesi
Selatan, Suku kajang ini terkenal sangat ramah dan rasa sosialisasinya tinggi
selain itu suku ini masih menolak modernisasi. Namun, dari segi bangunan rumah juga
dapat dilihat bahwa suku ini memang masih kental dengan adat istiadat mereka. Dalam
suku ini terbagi menjadi 2 kebudayaan yaitu, budaya kajang luar dan budaya
kajang dalam. Jika salah satu melanggar budaya ersebut makan akan keluar sanksi
peraturan.
Sumber :
nationalgeographic.co.id › ... › SULAWESI
www.indosiar.com/ragam/kajang--potret-suku-terasing_39110.html
http://repository.ung.ac.id/.../menguak-nilai-nilai-tradisi-pada-rumah-tinggal-kajang