Rabu, 26 Maret 2014

MAKNA SEBUAH PUISI (MAJU - Chairil Anwar)


MAJU

Karya: Chairil Anwar

Ini barisan tak bergenderang-berpalu
Kepercayaan tanda menyerbu.

Sekali berarti
Sudah itu mati.

MAJU

Bagimu Negeri
Menyediakan api.

Punah di atas menghamba
Binasa di atas ditindas
Sesungguhnya jalan ajal baru tercapai
Jika hidup harus merasai

Maju
Serbu
Serang
Terjang


 Pada kesempatan ini saya akan menafsirkan makna yang terkandung dalam puisi ini, dengan pendapat sediri.

Bagi saya dalam puisi ini menegaskan SEMANGAT yang besar (maju) dari judulnya. Hidup ini hanya sekali, buatlah yang berarti (sekali berarti). Semua orang akan mati, jika diliat dari (sudah itu mati).


Sekali berarti
Sudah itu mati.


 Cinta tanah air, memperjuangkan kemerdekaan (Bagimu negri) , semangat yang tak pernah putus (Meyediakan api).


Bagimu Negeri
Menyediakan api.


 Baris tersebut memberikan makna dan arti yang mendalam jika kita memaknai dan merasakanya, dan dapat kita pahami.


Demikian, saya telah mengumukaan pendapat saya mengenai arti puisi berjudul "maju" karya Chairil Anwar.

Rabu, 19 Maret 2014

Melihat kampung suku KAJANG AMMA TOA,SULAWESI SELATAN






A.  Sejarah
Masyarakat adat Kajang AmmaToa merupakan salah satu suku tertua yang sangat terkenal di Sulawesi selatan. Budaya dan kehidupan sosial masyarakatnya yang unik menjadi daya tarik bagi para wisatawan mancanegara yang membanjiri daerah ini setiap tahunya. Kajang terbagi menjadi dua wilayah, kajang dalam dan kajang luar. Wilayah kajang luar merupakan wilayah yang menerima modernisasi, sedangkan wilayah kajang dalam merupakan wilayah adat yang mempertahankan tradisi dan menolak modernisasi.
Gaya hidup yang bersandar pada petuah dan ajaran-ajaran leluhur sebagai pandangan hidup masih dipegang teguh sampai sekarang . Berpakaian hitam-hitam dilengkapi penutup kepala yang juga berwarna hitam atau biasa disebut pasappu dalam bahasa setempat, dan sarung berwarna hitam atau disebut Tope lelleng Komunitas adat yang bisa di jumpai di kabupaten Bulukumba sekitar 190 km dari Makassar ibu kota Sulawesi Selatan ini di pimpin oleh seorang tetua terpilih dengan sebutan AmmaToa yang dibantu oleh 26 pemangku adat atau disebut Galla (mentri) yang memiliki tugas masing-masing.
Saat ini Kajang di pimpin oleh AmmaToa yang ke 22 yang bertanggung jawab penuh menjaga adat dan tradisi bisa berjalan selaras dengan alam. Selain itu AmmaToa juga bertindak sebagai pemimpin spiritualis tertinggi. Kami pun sempat berbincang dengan pemimpin yang murah senyum dan berwibawah ini, beliau menjelaskan tentang bagaimana menyelesaikan perselisihan dan semua hal aspek kehidupan melalui musyawarah di rumah besar. Tentu saja menggunakan bahasa Konjo melalui perantara Galla (Mentri) yang memang bertugas menyambut dan menemani tamu.

B.  Pakaian Adat
Pakaian serba hitam menjadi ciri khas suku ini, bahkan mitos yang berkembang di masyarakat sering mengidentikkan suku kajang dengan kekuatan ilmu supranaturalnya.

C.  Kekayaan Alam
Suku Kajang memiliki nilai kearifan budaya yang diaplikasikan dalam pengelolaan kawasan hutan. Suku kajang membagi ke dalam tiga (3) bagian untuk pengelolaan dan pemanfaatan hutan. Pembagian kawasan ini dikenal dengan sebutan Borong Karamaka (hutan keramat) yaitu kawasan hutan yang terlarang untuk semua jenis kegiatan, terkecuali kegiatan atau acara-acara ritual.
Borong Batasayya (Hutan Perbatasan) merupakan hutan yang diperbolehkan diambil kayunya sepanjang persediaan kayu masih ada dan dengan seizin dari Ammatoa selaku pemimpin adat. Borong Luara (Hutan Rakyat) merupakan hutan yang bisa dikelola oleh masyarakat. Apabila mengacu pada peraturan kementerian pertanian mengenai klasifikasi pemanfaatan hutan, akan ditemukan konsep yang sama dengan kearifan lingkungan yang telah dijalankan suku Kajang selama bertahun-tahun.


D.    Nilai-Nilai Tradisi Pada Rumah Tinggal Masyarakat Ammatoa Kajang
Satu falsafah hidup yang sangat sederhana namun memiliki nilai pemeliharaan lingkungan adalah pemilihan tipe bangunan. Masyarakat Suku Kajang memilih tinggal dalam rumah panggung dibanding harus membangun rumah dari batu bata.
Menurut masyarakat suku Kajang, walaupun penghuni rumah yang tinggal di rumah (terbuat dari batu bata) masih hidup, mereka menganggap penghuni rumah tersebut sudah meninggal karena sudah dikelilingi tanah. Membangun rumah dari batu bata dianggap sebuah pantangan karena untuk membangunnya harus menggunakan kayu bakar.
Batu bata yang digunakan bahan bakunya adalah tanah setelah itu dicetak kemudian dibakar. Tahapan menghasilkan batu bata inilah yang dianggap merusak hutan. Padahal mereka sangat ketat melindungi hutan adatnya, sehingga bangunan dari batu bata menjadi pantangan bagi mereka. Jika ditinjau dari dari aspek lingkungan, kita akan temui kebenaran (rasionalitas) kepercayaan masyarakat suku Kajang dalam melestarikan hutan adat.
1. Membangun rumah dari batu bata membutuhkan tanah liat, untuk menyediakan bahan baku tanah diperoleh dengan melakukan pengerukan tanah.
2. Pembakaran batu bata membutuhkan banyak kayu bakar, yang bersumber dari hutan.
3. Menghasilkan polusi udara, akibat pembakaran batu bata
4. Limbah bangunan batu bata tidak banyak yang bisa digunakan, berbeda dengan kayu yang masih bisa didaur ulang.
Dlihat dari struktur dan konstruksi rumah tradisional Ammatoa Kajang dibedakan atas Bola Hanggang dan Bola Paleha. Bola Hanggang adalah rumah yang tiangnya ditanam kedalam tanah 100 cm dan tidak mempunyai pattoddo (balok yang menghubungkan tiang-tiang pada arah lebar bangunan bagian bawah lantai). Sementara balok yang menghubungkan deretan tiang pada arah lebar yang terletak pada bagian atas di bawah lantai para (padongko), disalah satu sisinya tidak boleh melewati tiang (rata dengan tiang tempatnya bertumpu) yakni pada sisi kanan rumah, sisi dimana terletak dapur. Sedangkan Bola Paleha adalah merupakan rumah yang tiangnya tidak ditanam tetapi berdiri diatas umpak (Kajang: Pallangga Bola) dan deretan tiang dihubungkan oleh patoddo sebagaimana konstruksi rumah tradisional Bugis-Makassar. 
Letak rumah tradisional di luar kawasan adat sekalipun masih dipengaruhi sistim kekerabatan dimana anggota keluarga yang sudah berkeluarga dan merasa mampu untuk  mandiri cenderung menetap disekitar rumah keluarga inti, aturan-aturan yang mengikat mengenai tata letak seperti mempertimbangkan hubungan kekerabatan antara orang tua dan anak atau antara saudara (kakak dan adik)/antara yang muda dan tua tidak lagi menjadi hal yang harus dipertimbangkan. Hal ini diakibatkan karena kondisi alam/lingkungan mereka tinggal dan tergantung dari letak/tersedianya lahan kosong yang mereka miliki.

E.   Sejarah dan Prasejarah
Masyarakat suku Kajang juga memiliki ajaran Pasang, ajaran ini merupakan ajaran tata aturan yang mengatur jaringan dan hubungan Suku Kajang yang muncul sebagai implementasi dari doktrin-doktrin dan ajaran yang dikandungnya. Salah satu ajaran Pasang yang memberi pesan bahwa sejarah masa lalu tidak jauh berbeda dengan sejarah sekarang dapat dilihat sebagai berikut : Cobami ringkuanaki hojainjo ripangkuaya sajarana ri olo kipasittei konjo, kituju konjo, kipasittappai konjo nipahangiya, ri bicara rioloa, anre kulle nasisalantu. Punna sisala, rie’ runnambaintu mange, niyaka nangurangi. Kanre anre nakulle ni tambai pasangnga, nasaba’ iya nakua bicarayya Lontara ri Gowa, Pasang ri Kajang, Kitta ri Luhu. Mingka punna rie’ tunnambai rie’to’ tau doraka. Iyaka narie’ tau ngurangi ampasisala konjo ri pangkuayanjo tallua passala ri kuayya Lontara ri Gowa, Pasang ri Kajang, Kitta’ ri Luhu appasiainjo sinna, arennaji batuanna hata’bage, naiyya pada tujuanna, se’re tujuan.
Yang memiliki arti sebagai berikut : “Cobalah anda mencari tentang apa yang dikatakan dalam sejarah masa lampau. Anda cocokkan dan selidiki tentang apa yang dikatakan dalam sejarah masa lampau tersebut, dengan keadaan sekarang. Apa yang dikatakan sejarah masa lampau dengan keadaan masa kini, tidak berbeda. Kalau ada perbedaan, pasti ada yang menambahinya. Orang yang menambah atau mengurangi dari informasi masa lampau itulah orang yang durhaka. Dalam hal yang berkaitan dengan Pasang ri Kajang ditetapkan bahwa tidak dapat ditambah sebagaimana yang tertulis pada Lontara di Gowa, Pasang ri Kajang, dan kitab di Luwu. Tetapi jika ada yang menambah, itulah orang durhaka, sebab ia telah membedakan yang telah dikatakan dalam Lontara di Gowa, Kitab di Luwu dan Pasang ri Kajang. Yang membedakan antara ketiganya hanyalah namanya, sementara tujuannya hanya satu.”

F.   Agama dan Kepercayaan
Menurut data statistik di Kantor kecamatan Kajang, masyarakat Ammatoa seluruhnya beragama Islam. Meskipun Islam diakui masyarakat Ammatoa sebagai agama satu-satunya dalam kawasan adat, akan tetapi dalam kehidupan bergama mereka masih mencampurbaurkan dengan ajaran-ajaran leluhur (kepercayaan) yang masih mereka pegang teguh.
Patuntung adalah nama kepercayaan yang dianut oleh Komunitas Ammatoa Kajang. Kata Patuntung dialek Konjo, berasal dari kata “Tuntung” yang mendapat awalan Pa sama dengan awalan “Pe” dalam bahasa Indonesia yang berarti “Penuntut” atau “Pelajar”. Jadi Patuntung maksudnya seorang yang sedang mempelajari “Panggisengang” (ilmu pengetahuan) yang bersumber dari “Pasang ri Kajang” yang mengandung pesan-pesan, petuah-petuah, pedoman atau petunjuk yang ditaati, dan dituruti serta diamalkan demi kebahagian akhirat. Amma-Toa adalah pemimpin dari kepercayaan patuntung di Kajang, (“Amma” berarti bapak, dan “Toa berarti  yang dituakan). Kepadanya diadukan suka duka, didengar dan dipatuhi karena mempunyai kelebihan-kelebihan dibanding manusia biasa, tetapi walaupun demikian Amma-Toa tidak dipandang sebagai dewa yang harus dipuji dan disembah, karena pada hakekatnya Komunitas Ammatoa Kajang percaya pada Sang Pencipta yang meraka sebut Turie A’ra’na disingkat “TRA”.
Padanya manusia memohon dan a’pisona (pasrah/tawakkal) Turie A‟ra‟na yang menentukan. Bentuk isyarat/lambang tuntutan Tuhan ada di dalam “pasang”. Kepercayaan ini pada intinya bertolak dari keyakinan tentang keberadaan manusia dibumi/kajang yang hanya semata-mata untuk mempersiapkan diri menuju kebahagian akhirat, tempat para leluhur mendapat kemuliaannya, dan menanti turunan mereka yang “shaleh” (Hermina, 1985). Sehingga berdasarkan hal tersebut kepentingan- kepentingan keduniaan menjadi sesuatu yang tidak penting atau menentukan.

G.  Sistem Kekerabatan
Pada Komunitas Ammatoa Kajang (KAK) hubungan kekerabatan ini tampak jelas pada pengaturan ruang dan tatanan massa rumah mereka (Wiwik, 2000). Untuk keseluruhan tatanan massa pada permukiman Komunitas Ammatoa (Kajang Dalam), pada dasarnya bermakna: „yang muda berkewajiban melindungi yang tua‟. Dalam hal ini yang dimaksud dengan yang muda bisa saja anak/menantu, keponakan, ataupun adik. Bila dalam silsilah mempunyai kedudukan yang sama, maka yang diambil sebagai patokan adalah usia, yang muda berdasarkan usia adalah yang telah dewasa dan berumah tangga. Selama ia belum berumah tangga, maka keselamatannya masih dalam tanggungjawab orangtuanya.

H.  Pelapisan Sosial
Bagi Komunitas Ammatoa Kajang (KAK), sekalipun dikenal adanya pelapisan sosial, tetapi dalam kehidupan sehari-hari, secara fisik tidak terlihat adanya tanda-tanda pelapisan sosial misalnya dalam hal desain dan dimensi rumah, semua relatif seragam.  Hal ini sangat berbeda dengan sistem kerajaan yang selalu memberi fasilitas “lebih” kepada kelompok masyarakat yang berada pada lapisan atas. Sebagaimana contoh terlihat pada masyarakat bugis, keluarga raja/bangsawan rumahnya minimal bertiang 21 buah sedangkan pada lapisan masyarakat umum maksimal setiap rumah hanya diizinkan bertiang 16 buah (Izarwisman, 1985).
Sistem pelapisan sosial bagi KAK sangat ditentukan oleh tingkat “kesholehan” yang bersangkutan yang telah menguasai penuntun (Kajang: Patuntung) yakni berupa pesan-pesan leluhur (Kajang: Pasang ri Kajang) yang berintikan pada prinsip “Kamase- masea” (kebarsahajaan), baik dalam pemahaman substansi maupun dalam wujud kehidupan sehari-hari, termasuk dalam pembentukan rumah, sehingga rumah bagi mereka adalah yang sederhana saja, (Kajang: Balla situju-tuju) dan dalam bentuk yang seragam, guna menghindari adanya perasaan lebih atau kurang diantara warga Komunitas Ammatoa Kajang. Bagi Komunitas Ammatoa Kajang rumah bukanlah merupakan “kebutuhan” karena yang menjadi kebutuhan mereka justru bagaimana menjalankan hidup sebaik-baiknya sehingga selamat di akhirat, (Usop dalam Aminah: 1978). Hal ini nampak berbeda dengan teori Moslow yang menempatkan rumah sebagai kebutuhan yang paling mendasar. Lebih lanjut Usop (1978) mengemukakan bahwa merubah rumah adalah sesuatu yang dipantangkan (Kajang: Kasipali) sebagaimana halnya menebang pohon, berpakaian warna-warni dan lain-lain.

I.      Interaksi sosial
Menurut Soekanto (1990) interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis menyangkut hubungan antara orang perorang, antara kelompok-kelompok manusia, dan antara orang perorangan dengan kelompok manusia
Hubungan antara individu komunitas ammatoa dengan individu komunitas ammatoa lainnya di dalam kawasan adat sangat baik, baik secara kuantitas maupun secara kualitas. 
Hubungan kekeluargaan diantara sesama warga masih sangat kuat utamanya yang berada di dalam kawasan adat ammatoa, sehingga antara satu dengan lainnya saling kenal dalam satu kawasan adat. Masyarakat masih mengetahui nama depan dan nama panggilan masing-masing, pekerjaan masing-masing, dan jumlah keluarga (anak dan pengikut). Dengan keadaan ini maka interaksi sosial sangat sering dan berlanjut antara individu satu dengan lainnya serta keluarga satu dengan lainnya. Kolong rumah berperan besar dalam menjalin hubungan sosial antara tetangga (keluarga majemuk) dan sesama keluarga inti.

J.    Gaya Hidup
Gaya hidup dapat didefenisikan sebagai cara hidup yang diikuti oleh kelompok tertentu, melibatkan peran sosial mereka dan karakterisitik yang tercermin dalam tingkah laku yang terkait dengan perannya di tempat tersebut
Gaya hidup komunitas ammatoa adalah sederhana (kamase-masea) sebagaimana aturan-aturan yang terdapat dalam Pasang ri Kajang, yang menjadi persepsi, kognisi dan attiitudes mereka. Sehingga tingkah laku mereka pada akhirnya adalah tingkah yang sesuai dengan ajaran Pasang ri Kajang, yang mendasari gaya hidup komunitas ammatoa Kajang.
Mereka menganggap tidak perlu hidup berlebihan karena hidup berlebihan akan menimbulkan konflik-konflik diantara masyarakat yang pada akhirnya menghasilkan ketidakharmonisan dalam masyarakat tersebut. Gaya hidup sederhana ini tercermin mulai dari cara berpakaian, cara berkomunikasi, cara menyambut tamu dan sampai pada bentuk dan tatanan ruang/hunian mereka.           

K.  Kesimpulan
Setiap suku pasti memiliki cirri khasnya masing-masing. Suku kajang merupakan suku yang paing tertua di Sulawesi Selatan, Suku kajang ini terkenal sangat ramah dan rasa sosialisasinya tinggi selain itu suku ini masih menolak modernisasi. Namun, dari segi bangunan rumah juga dapat dilihat bahwa suku ini memang masih kental dengan adat istiadat mereka. Dalam suku ini terbagi menjadi 2 kebudayaan yaitu, budaya kajang luar dan budaya kajang dalam. Jika salah satu melanggar budaya ersebut makan akan keluar sanksi peraturan.

Sumber :
 nationalgeographic.co.id › ... › SULAWESI
 www.indosiar.com/ragam/kajang--potret-suku-terasing_39110.html
http://repository.ung.ac.id/.../menguak-nilai-nilai-tradisi-pada-rumah-tinggal-kajang